Foto: Feris Uhe Koten
|
Pada
kurun 2001-2003, ketika masih menjalani masa Novisiat pada Serikat Sabda Allah
(SVD) Nenuk- Atambua, sering sekali kami menghadiri misa pada stasi dan
lingkungan di sana. Tidak saja di Atambua, lebih sering malah di Kefa. Sebagai
orang Ilemandiri - Flotim, berada bersama umat di kedua kabupaten itu menjadi
pengalaman menarik. Bagaimana tidak, banyak hal baru yang saya jumpai di sana.
Baru pertama saya lihat. Dan Yang baru itu biasanya selalu menarik, bisa pula
menggoda; bikin terkesima, lalu betah berlama lama menikmatinya. Ada orang
baru, tradisi baru, busana baru, kebiasaan baru, bahasa baru, dan banyak lagi
hal baru lainnya.
Tentang
bahasa itu. Di Atambua, masyarakatnya berbahasa Tetun. Sementara di Kefa mereka
menggunakan bahasa Dawan. Yang mau saya ceritakan adalah penggunaan bahasa
daerah mereka dalam liturgi; saat misa. Yang paling berkesan adalah saat ikut
misa di Kefa. Di Paroki atau stasi bahkan yang jauh dari kota. Sebagai daerah
yang paling sering kami datangi untuk misa, Saya selalu menyaksikan dan
mendengar mereka bernyanyi dalam bahasa Dawan. Tidak saja bahasa, musiknya pun
khas wilayah itu. Lagu lagunya dinyanyikan dengan meriah, hentakan musiknya
penuh semangat lalu ada pula teriakan khas orang Timor. Eee....
heheeeeee.......Uuu..... Hahaha..... Sebagai orang Ilemandiri, Flores Timur,
mengikuti perayaan ekaristi dengan lagu lagu daerah Dawan itu sungguh jadi pengalaman
luar biasa. Sangat berkesan. Sulit dilupakan.
Hari
ini pengalaman hampir sama kembali saya alami. Misa syukur 25 tahun Imamat Imam
perdana Paroki St. Yosef Riangkemie P. Marselinus Belawa Nuhan, SVD di
meriahkan oleh lagu lagu berbahasa daerah. Bedanya, misa di Gereja Lewoloba
itu, menjadi penuh khidmat karena lagu lagu berbahasa Daerah Lamaholot -
Ilemandiri. Koor dari Stasi Waimana I itu bikin saya merinding, Takjub,
bersemangat, lalu hanyut. Selain performance dirijen, musik, serta anggota koor
yang luar biasa, sensasi itu juga muncul karena pengalaman ini juga baru bagi
saya. Saya sering mengikuti misa yang satu dua lagunya berbahasa daerah, tapi
ini yang pertama, pengalaman misa dengan hanya satu lagu berbahasa Indonesia.
Hebatnya, pencipta lagu lagu itu, Bapak Bernadus Bajo Lebuan dan Yoseph Ketolek
Piran yang adalah Putra asli Waimana, juga ada bersama kelompok koor itu.
Sastra
Lamaholot Ilemandiri pada generasi saat ini terancam punah. Ancaman itu nyata
dan sangat serius. Karena hanya digunakan pada saat seremonial adat khususnya
sapaan adat dan doa-doanya, bahasa dan sastra lamaholot menjadi sangat asing
kini. Bagaimana tidak, seremonial adat yang menjadi media "belajar"
sastra tidak banyak lagi diminati generasi milineal. Membiarkannya punah seiring
waktu adalah dosa besar generasi ini. Karena itu, semua kita harus merasa
berkepentingan melestarikan bahasa Lamaholot dan sastranya itu. Ruang, waktu
dan medianya harus mulai kita pikirkan. Salah satunya sudah terjadi hari ini.
Lewat lagu-lagu. Dalam misa. Di Gereja. (Teks: Feris Uhe Koten)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar