Kalender Liturgi

Rabu, 26 September 2018

Sekelumit Kesan Perayaan Misa Syukur 25 tahun Imamat Imam Perdana Paroki St. Yosef Riangkemie



Foto: Feris Uhe Koten
Pada kurun 2001-2003, ketika masih menjalani masa Novisiat pada Serikat Sabda Allah (SVD) Nenuk- Atambua, sering sekali kami menghadiri misa pada stasi dan lingkungan di sana. Tidak saja di Atambua, lebih sering malah di Kefa. Sebagai orang Ilemandiri - Flotim, berada bersama umat di kedua kabupaten itu menjadi pengalaman menarik. Bagaimana tidak, banyak hal baru yang saya jumpai di sana. Baru pertama saya lihat. Dan Yang baru itu biasanya selalu menarik, bisa pula menggoda; bikin terkesima, lalu betah berlama lama menikmatinya. Ada orang baru, tradisi baru, busana baru, kebiasaan baru, bahasa baru, dan banyak lagi hal baru lainnya.
Tentang bahasa itu. Di Atambua, masyarakatnya berbahasa Tetun. Sementara di Kefa mereka menggunakan bahasa Dawan. Yang mau saya ceritakan adalah penggunaan bahasa daerah mereka dalam liturgi; saat misa. Yang paling berkesan adalah saat ikut misa di Kefa. Di Paroki atau stasi bahkan yang jauh dari kota. Sebagai daerah yang paling sering kami datangi untuk misa, Saya selalu menyaksikan dan mendengar mereka bernyanyi dalam bahasa Dawan. Tidak saja bahasa, musiknya pun khas wilayah itu. Lagu lagunya dinyanyikan dengan meriah, hentakan musiknya penuh semangat lalu ada pula teriakan khas orang Timor. Eee.... heheeeeee.......Uuu..... Hahaha..... Sebagai orang Ilemandiri, Flores Timur, mengikuti perayaan ekaristi dengan lagu lagu daerah Dawan itu sungguh jadi pengalaman luar biasa. Sangat berkesan. Sulit dilupakan.
Hari ini pengalaman hampir sama kembali saya alami. Misa syukur 25 tahun Imamat Imam perdana Paroki St. Yosef Riangkemie P. Marselinus Belawa Nuhan, SVD di meriahkan oleh lagu lagu berbahasa daerah. Bedanya, misa di Gereja Lewoloba itu, menjadi penuh khidmat karena lagu lagu berbahasa Daerah Lamaholot - Ilemandiri. Koor dari Stasi Waimana I itu bikin saya merinding, Takjub, bersemangat, lalu hanyut. Selain performance dirijen, musik, serta anggota koor yang luar biasa, sensasi itu juga muncul karena pengalaman ini juga baru bagi saya. Saya sering mengikuti misa yang satu dua lagunya berbahasa daerah, tapi ini yang pertama, pengalaman misa dengan hanya satu lagu berbahasa Indonesia. Hebatnya, pencipta lagu lagu itu, Bapak Bernadus Bajo Lebuan dan Yoseph Ketolek Piran yang adalah Putra asli Waimana, juga ada bersama kelompok koor itu.
Sastra Lamaholot Ilemandiri pada generasi saat ini terancam punah. Ancaman itu nyata dan sangat serius. Karena hanya digunakan pada saat seremonial adat khususnya sapaan adat dan doa-doanya, bahasa dan sastra lamaholot menjadi sangat asing kini. Bagaimana tidak, seremonial adat yang menjadi media "belajar" sastra tidak banyak lagi diminati generasi milineal. Membiarkannya punah seiring waktu adalah dosa besar generasi ini. Karena itu, semua kita harus merasa berkepentingan melestarikan bahasa Lamaholot dan sastranya itu. Ruang, waktu dan medianya harus mulai kita pikirkan. Salah satunya sudah terjadi hari ini. Lewat lagu-lagu. Dalam misa. Di Gereja. (Teks: Feris Uhe Koten)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar